Sasando dari Pulau Rote


Si Jacko maestro Sasando
Alat musik Sasando pernah menyentuh hati Saya beberapa tahun yang lalu, dimana saat itu saya baru pertama kali mengenal Sasando dan mendengar suara dawai yang dimainkan oleh pemuda dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Barat. Kemerduan Sasando sampai sekarang masih sangat dirindukan.

Tidak hanya Taman Nasional Komodo atau Pulau Bali yang mengharumkan nama pertiwi di mancanegara, namun sejuta pesona Budaya Flobamora yang patut kita apresiasi adalah Alat Musik Sasando dan topi Ti’i Langga. Keunikan alat musik ini telah menyita perhatian khusus dari beberapa negara diantaranya adalah Jepang yang secara khusus mengundang seniman kita baik sebagai Pembuat atau sebagai Musikus Sasando untuk menggelar pertunjukan Musiknya di bumi Sakura.


Alat musik tradisional yang berasal dari Rote Ndao-Nusa Tenggara Timur ini tergolong alat musik kontemporer. Dimainkan dengan cara dipetik pada dawai yang terbuat dari kawat halus. Bentuknya tergolong sangat unik; bagian utama dari Sasando berbentuk seperti Harpa. Resonatornya terbuat dari daun pohon Lontar yang berlekuk-lekuk menyerupai wadah penampung air bagi masyarakat tradisional Rote. Susunan notasinya bukan beraturan seperti alat musik pada amumnya, melainkan memiliki notasi yang tak beraturan dan tidak kelihatan karena terbungkus.

Sasando dimainkan dengan dua tangan dari arah yang berlawanan, dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi untuk memainkan melodi dan bass, sedangkan tangan kanan bertugas memainkan accord. Itulah uniknya Sasando yang membedakan ia dengan alat musik lainnya karena seseorang dapat memainkan sekaligus melodi, bass dan accord.

Alat musik tradisional masyarakat Rote itu telah ada sejak puluhan tahun lalu dan menghasilkan suara kombinasi dari tiga alat musik; harpa, piano, dan gitar plastis. Sasando bukan sekadar harpa, piano, atau gitar tetapi tiga alat musik dalam satu rytm, melodi, dan bass. Jadi meskipun merupakan alat musik tradisional, universalitasnya sasando berlaku menyeluruh.

Alat musik masyarakat Rote itu tergolong cordophone yang dimainkan dengan cara petik pada dawai yang terbuat dari kawat halus. Resonator sasando terbuat dari daun lontar yang bentuknya mirip wadah penampung air berlekuk-lekuk.

Sasando dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan, kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan bertugas memainkan accord. Sasando di tangan pemain ahlinya dapat menjadi harmoni yang unik. Sebab hanya dari satu alat musik, sebuah arkestra dapat diperdengarkan.

Sayang, sasando ibarat masterpiece maestro yang terpendam dan nyaris punah. Alat musik luar biasa itu terancam tinggal cerita manakala di tempat asalnya sendiri telah menjadi sesuatu yang asing.

Sasando memang menyimpan kisah haru. Alat musik ciptaan dua pendeta asal Pulau Rote itu kini hanya dapat dipetik oleh delapan orang yang menjadi generasi terakhirnya, Jacko H.A. Bullan boleh jadi merupakan salah satu generasi terakhir pewaris sasando Rote. Jack mengaku prihatin dengan kenyataan yang ada bahwa pendahulu mereka hampir tidak mewariskan bukti sejarah sasando dari Pulau Rote kepada penerus mereka, tidak ada literatur tersedia sebagai bekal generasi penerus untuk mempelajari seni dan budaya mereka.

Akhirnya, harapan kita besok lusa hadir beribu-ribu pemuda Pulau Rote berjuang bersama Jack untuk melestarikan Sasando. Salam Pustaka Budaya!
Previous
Next Post »